Kau pernah membaca Cerpen “Bunga Kopi” karya Ratna Indraswari Ibrahim? Iya, benar. Cerpen yang pernah masuk ke kumcer nya Kompas. Memang bunga-bunga kopi sangat indah. Bunga kopi adalah paduan keindahan kantil dan melati. Pernah kau meminum air dari bunga kopi? Ya, rasanya seperti madu. Dulu, waktu aku masih kecil, aku sering sekali meminum air dari bunga kopi. Manis sekali. Setiap pagi saat musim kopi berbunga, maka semerbak wanginya akan merebak kemana-mana. Kau akan merasa seperti di taman firdaus. Kau ingin menari, minum sari bunga. Menari. Minum sari bunga. Menari lagi dan minum lagi. Tanpa jenuh.
Tapi sekarang Laras, kita tak menari lagi di kebun kopi milik ayahmu itu. Kita bahkan menari di tempat yang berbeda. Kau menarikan tubuh telanjangmu di bawah guyuran lampu kemerlap itu. Sementara aku menggoyangkan hati bimbangku, untung beat nya sama. Aku tahu, bukannya sok tahu. Senyum tebal dari bibir tipismu itu menipu. Sejak kau menyadari aku menatapimu dari sudut meja ini. Iya, aku terkejut. Sama seperti terkejutnya kau. Aku terkejut karena temanku benar, bahwa kau, Laras, adalah salah satu dari mereka. Perempuan penari telanjang. Kau mungkin lebih terkejut, ketika melihat aku tiba-tiba ada disini.
Dentuman musik masih memenuhi ruang dengarku, tawa riuh lelaki-lelaki di bawahmu sudah kumaklumi. Siapa pula yang tidak tergila melihat kau tanpa busana. Bahkan aku dulu sampai sanggup berjanji mati hanya untuk merasakan lekuk-lekuk di pinggangmu. Kulitmu halus bak pualam, putih mulus tak terperikan. Ku lihat beberapa lelaki bule turut menari tanpa irama. Sementara mereka memandangimu, matamu malah memandangi aku dan aku memandangi mereka. Mereka seperti melihat kambing guling yang siap disantap. Sama seperti ketika pertama kali aku menikmati tubuhmu di kebun kopi yang semerbak itu. Meski semerbak minuman keras di club ini memabukkan, tapi semerbak bunga kopi ternyata menghanyutkan.
Laras, aku pergi bukan untuk berlari. Hanya karena aku tertawan di negeri orang, kau jadi tidak percaya. Aku telah menikahimu, kau istriku. Maaf, aku tak tahu kalau adik-adikmu butuh uang untuk sekolah. Maaf kalau aku juga tak tahu kalau ayahmu telah jatuh sakit dan tak mampu bekerja. Dulu, waktu kau kirimi aku surat tentang terbakarnya ladang kopi ayahmu, aku biasa saja. Aku tidak menyangka, hilangnya bunga kopi akan menghilangkan semua harapan kalian. Tapi Laras, tak seharusnya kau menari tanpa bra.
“buka celanamu! Waktuku tak banyak. Show berikutnya tinggal 15 menit lagi”
Laras, aku memintamu ke kamar ini bukan untuk itu. Tapi kau malah membuka setelan jasku, merenggut dasiku. Melilitkannya ke leherku. Mencekikku. Untungnya sebelum aku kehabisan nafas, kau malah memelukku. Tangismu itu, membuka lagi harapanku.
“Ayo Laras, kita pulang. Aku baru saja membeli 2 hektar kebun kopi yang kini sedang berbunga. “Kau masih suka menari di kebun kopi?” Tanyaku. Kau hanya mengangguk di sela air matamu.

oleh :

Mas Lingga

via : sosbud.kompasiana.com