JAKARTA, KOMPAS.com - Surat elektronik yang dikirimkan Eli Cohen cukup mengejutkan publik. Sekretaris Umum PSSI, Nugraha Besoes, menyebutnya tudingan yang kejam. Bagaimana surat itu? Inilah surat tersebut.
From: eli cohen
Date: Sun, 30 Jan 2011 14:36:16 +0700
To: <sby@presiden.go.id>; <redaksi@bolanews.com>; <topskor@cbn.net.id>
Subject: Mohon Penyelidikan Skandal Suap saat Piala AFF di Malaysia
Kepada Yth. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta
Dengan Hormat, Perkenalkan nama saya Eli Cohen, pegawai pajak dilingkungan kementrian Keuangan Republik Indonesia. Semoga Bapak Presiden dalam keadaan sehat selalu.
Minggu ini saya membaca majalah tempo, yang mengangkat tema khusus soal PSSI. Saya ingin menyampaikan informasi terkait dengan apa yang saya dengar dari salah satu wajib pajak yang saya periksa dan kebetulan adalah pengurus PSSI (maaf saya tidak bisa menyebutkan namanya) . Dari testimony yang disampaikan ternyata sangat mengejutkan yaitu adanya dugaan skandal suap yang terjadi dalam Final Piala AFF yang dilangsungkan di Malaysia.
Disampaikan bahwa kekalahan tim sepak bola Indonesia dari tuan rumah Malaysia saat itu adalah sudah ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Hal ini terjadi karena adanya permainan atau skandal suap yang dilakukan oleh Bandar Judi di Malaysia dengan petinggi penting di PSSI yaitu XX dan XXX (ia menulis inisial dua nama, Red).
Dari kekalahan tim Indonesia ini baik Bandar judi maupun 2 orang oknum PSSI ini meraup untung puluhan miliar rupiah.
Informasi dari kawan saya, saat dikamar ganti dua orang oknum PSSI ini masuk ke ruang ganti pemain (menurut aturan resmi seharusnya hal ini dilarang) untuk memberikan instruksi kepada oknum pemain. Insiden “laser” dinilai sebagai salah satu desain dan pemicunya untuk mematahkan semangat bertanding.
Keuntungan yang diperoleh oleh dua oknum ini dari Bandar judi ini digunakan untuk kepentingan kongres PSSI yang dilangsungkan pada tahun ini. Uang tersebut untuk menyuap peserta kongres agar memilih XX kembali sebagai Ketua Umum PSSI pada periode berikutnya.
Saya bukan penggemar sepak bola, namun sebagai seorang nasionalis dan cinta tanah air saya sangat marah atas informasi ini. Nasionalisme kita seakan sudah dijual kepada bandar judi untuk kepentingan pribadi oleh oknum PSSI yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karenanya saya meminta Bapak Presiden untuk melakukan penyelidikan atas skandal suap yang sangat memalukan ini.
Semoga Tuhan memberkati Negara ini.
Hormat Kami, Eli Cohen Pegawai Pajak
Tembusan 1. Menteri Olah Raga 2. Ketua KPK 3. Ketua DPR 4. Ketua KONI
sumber http://bola.kompas.com/read/2011/01/31/13164626/Inilah.Email.Eli.Cohen
Tampilkan postingan dengan label Corruption. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corruption. Tampilkan semua postingan
Bona Paputungan / Vivanews
“
Satir, sindiran, kritik. Apa pun kesan yang bisa diresapi dari lagu berjudul Andai Aku Gayus Tambunan semestinya ia bermuara pada satu hal: bahwa agar sanggup berbicara di “frekuensi” yang sama dengan pendengarnya, lagu bisa bercerita atau bersyair tentang apa saja, bahkan masalah serius seperti kasus Gayus Tambunan. Dengan kata lain, hanya percaya pada tema asmara untuk bisa menjaring audiens yang luas adalah berlebihan (walau, barangkali, memang benar hal ini lebih mudah menemukan audiens; sebab bukankah setiap orang pernah atau paling tidak ingin merasakan cinta?).Orang pasti pernah mendengar namanya atau melihat fotonya saat mengenakan wig yang konyol itu.''
Gayus, belakangan ini, siapa yang tak tahu? Sekurang-kurangnya orang pasti pernah mendengar namanya atau melihat fotonya saat mengenakan wig yang konyol itu. Dia bukan tokoh roman percintaan yang populer. Dia tak punya kisah asmara yang mengharubirukan perasaan siapa saja. Dia adalah antagonis, seseorang yang menjadi tersangka kasus besar mafia hukum dan mafia perpajakan yang kebetulan melakukan tindakan-tindakan luar biasa yang menunjukkan betapa, seperti digambarkan dalam syair Bona, “hukuman bisa dibeli”.
Pasti tak semua orang mau tahu bagaimana sebenarnya kedua mafia itu membelit instansi pemerintah, penegak hukum, dan barangkali juga organisasi politik, sehingga transaksi untuk mengakali dan mengelak dari sanksi hukum bisa dilakukan. Tapi ada satu titik yang mempertemukan kepentingan siapa pun: mereka paham betapa praktek kotor penginjak-injakan hukum yang melibatkan birokrat, pengusaha, dan politikus serta ketidakdilan sedang berlangsung.
“
Bona Paputungan memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum --dan apalagi moralitas --di negeri ini.”
Dan di situlah Bona Paputungan memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum --dan apalagi moralitas --di negeri ini.
Melalui Andai Aku Gayus Tambunan, lelaki 30 tahun ini, sadar atau tidak, telah melontarkan satu lagu protes. Inilah yang nyaris hilang dalam lanskap musik kita, sebab hampir tak ada musisi yang peduli terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atau di negara ini.
Tentu saja, kita bisa mengatakan bahwa Bona punya pengalaman pahit yang bisa dia ceritakan dan kebetulan bertolak belakang dengan apa yang dialami Gayus: dia pernah dibui tanpa bisa keluar untuk pergi ke mana-mana. Bagi seniman, pengalaman langsung, dalam hal apa pun, akan lebih berperan sebagai dorongan kuat untuk berekespresi dan berkreasi.
James Joyce menghasilkan A Portrait of the Artist as a Young Man berdasarkan jalan hidupnya. Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang merupakan kumpulan tulisannya semasa dalam tahanan di Pulau Buru. Banyak lagi karya lain yang berlatar belakang serupa --yang merupakan otobiografi penciptanya.
Tetapi jika semua seniman harus melalui tahapan seperti itu untuk menghasilkan karya, rasanya di dunia ini tak bakal berlimpah karya besar. Dalam kenyataannya, banyak juga karya --seni rupa, puisi, prosa, tari, drama, lagu, apa pun --yang cenderung merupakan refleksi dari suatu keadaan; karya-karya ini berasal dari pengamatan dan renungan, juga empati, penciptanya terhadap situasi tertentu, bukan pengalaman langsung. Dalam musik, lagu-lagu protes hampir selalu berpijak pada situasi tertentu itu.
Dengan kata lain, yang berfungsi dalam penciptaan karya-karya semacam itu adalah kepekaan. Untuk berkreasi, seorang seniman tak harus menjadi tenaga kerja wanita yang direndahkan dan disiksa di luar negeri, atau orang miskin yang harus digusur dari suatu kawasan di perkotaan, atau Nenek Minah di Ajibarang, Banyumas, yang mesti menjalani hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan lebih karena memetik tiga butir kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan. Dia hanya perlu mengasah sensitivitas, dan punya kepedulian.
Dan itulah sesungguhnya yang dilakukan Bona, walau dia menghubungkannya dengan pengalaman pribadinya --dan meskipun, barangkali, dia punya alasan lain. Kasus Gayus, kita tahu, baru satu hal dari beragam kecompang-campingan di negeri ini. Ada banyak persoalan genting lainnya, karut-marut sosial politik, ketidakadilan, dan krisis moral, yang sebenarnya bisa menjadi sumber ilham bagi musisi mana pun. Soalnya tinggal ada kepedulian atau tidak.
sumber : http://id.omg.yahoo.com
Corruption in nearly half the world’s nations is not getting much better and, indeed, in many countries is intensifying–affecting virtually every aspect of life among peoples on every continent. While a year ago, some 72 out of 158 nations surveyed by the international watchdog group Transparency International were classified as “corrupt,” now 74 of 163 countries fall into the same category. A few, most notably India, managed to bootstrap themselves (just barely) out of the truly corrupt group, while others, particularly Iran, dug themselves more firmly into that camp. Haiti The police continue to be a central factor in corruption in Haiti, though there is corruption in virtually every governmental body. Since the police are also the officials closest to every individual on a daily basis, it is their corruption that changes the nature of daily life in Haiti, permeating all society and the way business is done. Corruption is perceived as widespread in this vicious dictatorship run with an iron hand by a strong-willed clique of military leaders, who persist in repression of civil society at every level. Illicit facilitation payments and informal fees are required to access even the most basic government services. Iraq Huge quantities of funds– especially American military and reconstruction aid funds–swirling through this nation, where many civil structures have largely broken down, is a recipe for corruption at all levels. Beyond kidnappings and ransom payments, TI officials say their survey was conducted in the first half of 2006 when funds being handled by the Coalition Provisional Authority were largely exhausted and no longer being disbursed. So the Iraqi government, where corruption is said to be rampant, was in charge of its own funds. International businessmen from a range of countries converging on Baghdad found finance, export credits, contracts and a host of more mundane functions of government all subject to illicit payments. Guinea Guinea has been in a political crisis state for at least three years. Though the current, corrupt president has been in power for 20 years, strong pressure has been building from the public for a change of regime. A public strike that lasted one month finally ended a month ago. There was outright civil strife, obliging the president to appoint a new prime minister. The most controversial, and corrupt, deals surround the mining sector, particularly aluminum. Among foreign businessmen, the general view, according to the TI survey, was that to do business in Guinea you needed “to pay off the guy at the top.” Sudan The key event was the switch from a Canadian company that dominated oil drilling in Sudan, the No. 3 oil producer in Africa, to a Chinese company that took over the contract after the Canadians found corruption and an outrageous human rights record was too rife to be able to continue functioning. China is now responsible for 90% of all oil production in Sudan, which also controls oil flow down a large pipeline through southern Sudan to the sea. Chinese officials have declined any comment on the human rights situation, and TI officials say they are “not too worried about having to pay off the Khartoum government.” Democratic Republic Congo/Kinshasa Copper in Katanga, and in the rest of the country, gold, uranium and especially coltan, a rare mineral that’s in every cell phone chip, still drive the corruption that remains rampant in this African nation. A presidential election did little to stop the corruption or the resulting violence that erupted again last month in downtown Kinshasha, the nation’s capital. The president is the principal recipient of routine payments by the mining companies who apparently are prepared to play the very lucrative payoff game that remains as endemic now as it was back during the regime of one of Africa’s historically most corrupt leaders, Mobutu Sese-Seko. Chad Chad has dropped from No. 1 to No. 7 this year as international aid agencies, particularly the World Bank, have sought to come to grips with one of the world’s most piggish uses of philanthropic funds. Proceeds of a Chad- Cameroon oil pipeline, funded in part by the World Bank and operated by an Exxon Mobil-led consortium, were supposed to have been used to help feed the desperately poor people of both nations. Instead, at least $30 million was diverted to buy arms to keep the government of President Idriss Deby in power. The World Bank, whose president, Paul Wolfowitz, was deeply embarrassed by the fiasco, halted funding more than a year ago, but reached an accord with Chad last July. According to TI officials, the jury’s still out on how effectively it will be implemented. Bangladesh There continues to be a general lack of engagement between the government and civil society as repression, corruption throughout government ranks and especially in the judiciary and political circles persists, often spilling over into the private sector. In March, the new military-backed government jailed at least 40 prominent business and government leaders from two of the leading political parties in what was described as an ongoing probe of corruption, but TI officials are little impressed. Still, after five straight years at the top of the list, Bangladesh has signed the United Nations convention against corruption and has now dropped to No. 8. The most corrupt of the five former Soviet Republics on our list, Uzbekistan is sinking ever deeper into corruption and unrest–in constant turmoil and strife under what the U.S. State Department describes as the authoritarian rule of President Islam Karimov, a communist apparatchik holdover of the old regime, which, while violently suppressing opposition, encourages corruption that permeates society, including the executive branch. Bribery will win you everything from admission to leading educational institutions to a favorable outcome of traffic cases and civil lawsuits. Equatorial Guinea One of the world’s smallest oil powers, it is also among the most corrupt. Still, possibly under pressure from the major oil companies that operate there, particularly Exxon Mobil, things have improved a trifle, though the corrupt President Teodoro Obiang Nguema remains in power. Now, though, it’s becoming possible to operate a business on a reasonable basis, provided one accepts that 30% of all funds, including oil profits go straight into the pocket of Nguema. Still, the system of corruption now is more rational and orderly than the previous system that amounted to near-total anarchy. |